ndablek.com – Ironi mencuat di Desa Kluwih Kecamatan Tulakan, sebuah desa yang dianugerahi kekayaan tambang. Desa kecil ini menjadi pusat perdebatan antara warga desa yang berada dibawahnya dan PT. Gemilang Limpah Internusa (GLI) terkait pendapatan harian dari hasil tambang.
Menurut warga, melalui tim Pos Bantuan Hukum Komite Advokasi Hukum Nasional Indonesia (KANNI), PT GLI diklaim meraup keuntungan mencapai Rp 11 miliar per hari dengan menggali 50 ton hasil tambang. Klaim ini didasarkan pada uji lab bersama ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember), dimana 10 kilogram bongkahan tambang menghasilkan 1,6 gram logam, termasuk 0,008 gram emas, 0,309 gram timah, dan 1,212 gram tembaga.
“hasil itu setelah di uji lab bersama ITS (Intitut Teknologi Sepuluh Nopember),” klaim Jumangin perwakilan warga setempat.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa hasil uji LAB tahun 2020 menunjukkan bahwa dari 50 ton eksplorasi per hari, PT GLI bisa menghasilkan Rp 4.8 miliar dari emas, Rp 6.18 miliar dari timah, dan Rp 860 juta dari tembaga. “tinggal dikali saja jika 50 ton per hari,” tambahnya.
Namun, Badrul Amali, legal officer PT GLI, membantah klaim tersebut, menyebut uji lab Kanni tidak mendasar, dan perusahaan hanya mengolah batuan menjadi konsentrat tembaga, bukan bijih emas.
“kalau mengolah dari bahan hingga barang jadi harus menggunakan Smelter, GLI tidak memiliki itu (Smelter),” tandas Badrul.
Perdebatan ini mencuat lebih lanjut dengan klaim Badrul bahwa hasil tambang hanya empat kali rit per hari, dengan volume tidak lebih dari 40 ton. Sucofindo, yang melakukan uji laboratorium lainnya, menunjukkan hasil yang berbeda, namun Badrul enggan membeberkan data tersebut.
“perusahaan saat ini hidup segan mati tak mau, tidak mungkin penghasilya segitu, data darimana Rp 11 milyar,” tanya Badrul.
Sementara itu, dana bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) mineral dan batu bara untuk Pacitan tercatat tidak terlalu tinggi, dengan iuran tetap (land-rent) sebesar Rp 29 juta dan royalti Rp 808 juta, termasuk royalti khusus untuk PT GLI sebesar Rp 30 juta. Perdebatan ini menunjukkan kompleksitas antara kepentingan warga dan perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah.